Welcome to Blog's Saka Wira Kartika Kabupaten Pekalongan */* Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidin Walfaidin Mohon Maaf Lahir & Batin

Kemah Kebangsaan 2010

Wednesday, August 3, 2011

Membantu Proyek “Leave No Trace”



Salah satu kegiatan menarik yang terdapat di arena Jambore Kepramukaan Sedunia ke-22 di Rinkaby, Swedia, adalah pameran dan lokakarya interaktif “Leave No Trace” (LNT). Ini adalah upaya dari Gerakan Kepramukaan Sedunia agar para peserta dan pengunjung jambore yang berlangsung dari 27 Juli sampai 8 Agustus 2011 itu lebih memahami bahwa semua kegiatan yang kita lakukan dapat menimbulkan dampak yang berpengaruh pada kelestarian alam dan lingkungan. LNT kini telah merupakan bagian penting dari “World Jamboree Conservation Program” yang diadakan di setiap kegiatan akbar empat tahun sekali itu.


Dalam pameran dan lokakarya yang letaknya di tengah-tengah arena jambore itu, pengunjung diajak lebih memahami bahwa kalau berkemah misalnya, diharapkan dapat mengurangi seminimal mungkin dampak yang bisa merusak lingkungan. Pada intinya, LNT atau Leave No Trace adalah “jangan meninggalkan jejak” atau bisa juga disebut “jangan meninggalkan bekas atau sampah”.

Saya mengetahui adanya proyek ini sekitar sebulan lalu. Saat itu, Keith Larson, teman dari Boy Scouts of America/BSA (organisasi kepramukaan di Amerika Serikat) yang juga teman sesama anggota Scouts On Stamps Society International/SOSSI (organisasi internasional kolektor prangko dengan tema Pramuka), menulis email ke sejumlah anggota SOSSI. Dalam emailnya, Keith mengungkapkan bahwa dibutuhkan penerjemah untuk sejumlah bahasa. Bagi yang berminat, diharapkan mau membantu secara sukarela untuk menjermahkan bahan-bahan tertulis dari proyek LNT dan menghubungi langsung Kordinator Proyek LNT yang bernama Charlie Thorpe dari BSA.

Materi bahan tertulis dalam Bahasa Inggris yang disiapkan Charlie dan tim-nya, diharapkan bisa diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, untuk membantu para peserta yang datang lebih dari 150 negara di dunia. Di antara bahasa-bahasa yang ingin diterjemahkan antara lain (dalam istilah Bahasa Inggrisnya) Arabic, Bengali, Chinese/Cantonese/Mandarin, Croatian, Danish, Dutch, Finnish, German, Greek, Hebrew, Hindi, dan banyak lagi, termasuk Indonesian.

Merasa terpanggil untuk ikut membantu, saya pun segera menulis email kepada Charlie Thorpe, menanyakan apakah sudah ada yang menerjemahkan ke dalam “Indonesian” language atau Bahasa Indonesia? Ternyata belum ada, dan saya segera disodori daftar kata-kata dan kalimat dalam Bahasa Inggris yang diminta untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Walaupun cukup tahu Bahasa Inggris, saya sebenarnya bukan ahli Bahasa Inggris. Untunglah, istri saya yang kebetulan Sarjana Bahasa Inggris dan banyak membantu melakukan penerjemahan Bahasa Inggris ke Indonesia, aktif membantu saya. Sebenarnya, karena banyak istilah yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kelestarian alam, saya sempat meminta bantuan ke sebuah organisasi internasional yang banyak mengurusi masalah lingkungan hidup di Indonesia. Kebetulan, sejak sekitar 8-9 tahun lalu, saya mendukung organisasi tersebut sebagai “supporter”, baik dalam bentuk dana maupun dalam mempublikasikan aktivitas organisasi tersebut dalam kapasitas saya sebagai seorang wartawan.

Namun, ternyata organisasi itu sama sekali tidak membantu. Mereka hanya memberikan nama dan nomor telepon penerjemah profesional yang biasa diminta menerjemahkan oleh organisasi itu. Tentu saja kalau saya meminta jasa penerjemah profesional, saya harus membayar. Padahal ini adalah kerja relawan yang sama sekali tidak dibayar. Saya mencoba menjelaskan ke organisasi itu, dengan menanyakan apakah saya bisa bertemu dengan satu atau dua orang yang bisa membantu mengoreksi penerjemahan yang sudah saya lakukan, jawabannya mereka tidak mempunyai orang yang bisa membantu, Padahal, saya tadinya mengharapkan, karena ada beberapa istilah yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kelestarian alam, saya bisa mendapatkan terjemahan bakunya dalam Bahasa Indonesia.

Jadilah saya mencoba mencari ke sana ke mari. Termasuk ke Perpustakaan Nasional, untuk mencari buku-buku yang sesuai. Untung di sini, ada beberapa data yang bisa saya manfaatkan. Akhirnya, sebelum tenggat waktu 9 Juli 2011, saya bisa menyelesaikan terjemahan dan mengirimkan ke Charlie Thorpe.

Begitulah, saat berkunjung ke arena LNT di Jambore Kepramukaan Sedunia ke-22, saya melihat terjemahan dalam Bahasa Indonesia, di samping terjemahan dalam bahasa-bahasa lainnya, dalam lembaran yang disiapkan oleh panitia. Saya juga sempat bertemu secara langsung dengan Charlie Thorpe dan tim LNT di sana. Walau baru pertama kali bertemu dengan mereka, ikatan persaudaraan antarpramuka, membuat kami cepat akrab.

“Thank you LNT team for giving me opportunity to be a part of your translation team. Good luck,” begitulah ucapan saya sambil menjabat tangan Charlie Thorpe. (Berthold DH Sinaulan, Andalan Nasional Gerakan Pramuka)


javascript:void(0)